Manusia dan Penderitaan

Penderitaan Etnis Rohingya

Apa yang terjadi di Myanmar bukan lagi sebuah konflik keagamaan semata, tetapi sudah merupakan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada peradaban modern ini. Myanmar atau Burma yang pernah kita kenal adalah juga satu rumpun dan jiran Indonesia yang termaksuk dalam Negara-negara Asia Tenggara. Pasca Reformasi olitik yang memunculkan kepimimpinan pejuang demokrasi Myanmar Aung San su Kyi di tampuk kekuasaan menjadi penanda baik akan munculnya era keterbukaan pada Negara yang dahulunya sangat lekang dengan Junta Militer.

Alih-alih kehidupan yang baik etnis muslim Rohingya di Myanmar justru mendapatkan perlakuan yang tidak saja demokratis tetapi juga tidak manusiawi. Dugaan pembantaian etnis muslum Rohingya kian mengemuka manakala media memberitakannya secara gambling plus saksi dan visualisasi nyata akan terjadinya pelanggaran HAM berat di Myanmar. Sejara panjang penderitann etnis muslim Rohingya berawal dari tahun 1982, sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah di negara itu hanya menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya.

Sejak saat itu perlakuan diskriminatif hingga tidak manusiawi kerap di terimma oleh etnis Rohingya, jangankan untuk bersekolah dan mendapatkan kesempatan kerja serta beribadah yang layak untuk mendapatkan identitas kewarganegaraannya juga begitu sulit.

Populasi muslim Rohingya tercatat sekitar 4,0% atau hanya sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut. Jumlah tersebut menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia : Report On The Situation For Muslims In Burma pada Mei 1997.

Ironi kehidupan muslim Rohingya bukan saja terjadi di Myanmar, di Negara tetangga FIlipina sudah lama terjadi sehingga memaksa kaum moro di Filipina selatan mengangkat senjata begitu juga di Negara Thailand dengan kaum patani di Thailand Selatan semua itu dilakukan agar kaum muslim mendapatkan hak yang sama sebagaimana hak seorang warga negara yang dilindingi dengan undang-undang.

Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/02/rohingya-penderitaan-di-era-keterbukaan-myanmar-482634.html
 

Pandangan Hidup Masyarakat Jawa Terhadap Gamelan

Pandangan Hidup

Pandangan Hidup Masyarakat Terhadap Gamelan

Bagi masyarakat Jawa, Gamelan tidak sekedar perkara musik tetapi menjadi sebuah pertaruhan masyarakat Jawa mengolah rasa dan mengabdikan diri untuk sebuah sensibilitas kosmis (alam, manusia dan Tuhan). Pada hakikatnya gamelan adalah sebuah hakikat kehidupan manusia lahir dan batin. Kesadaran atas gamelan bagi masyarakat Jawa mengarah kepada kecederungan mistis atau sakralisasi, dan gamelan tidak sekedar menjadi urusan melodi, harmoni dan dinamik. Keharmonisan dan keteraturan dalam gamelan merupakan representasi dari perjalanan suci menuju Tuhan. ketukan gong bisa diartikan sebagai simbel pencapaian tingkat (maqam) tertentu setelah orang beralih dari suasana dzikir dan sunyi secara bergantian.

Dengan simbolisasi atas alam kerohanian Jawam maka sakralisasi terjadi dengan kesadaran batin dan laku. Pandangan mistis terhadap gamelan itu diterjemahkan oleh penguasa dan ahli agama dalam berbagai kalangan keraton. Gamelan menjadi perangkat musing dengan nafas dan tradisi serta keagamaan. Ritus Gamelan menjadi ritus dengan permainan jagad simbol dan aturan kepercayaan terhadap nilai - nilai kejawaan yang religositas.

Pandangan hidup masyarakat Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelan merupakan keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak - ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama. Irama yang khas yang dihasilkan merupakan perpaduan jenis suara dari masing - masing unit peralatan gamelan. Secara filosofis gamelan Jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa.

Sumber Ide : http://www.pusakaindonesia.org/gamelan-budaya-jawa-yang-adiluhur/